Taufik Kiemas Membela Soekarno & Soeharto

Taufik Kiemas - Suara sinis bahkan sikap tidak suka terhadap Taufiq Kiemas (TK) hingga kapan pun, tak akan pernah terhapus. Apalagi jika harapannya adalah dapat menghapus ketidak sukaan itu secara mudah. Pasalnya ketidak sukaan itu ada yang sudah bersifat apriori. Ditambah lagi, dalam melihat semua gerak politik TK, alat yang digunakan untuk meneropongnya berupa kaca mata bermerek ‘curiga’.
Taufik Kiemas
Taufik Kiemas Membela Soekarno & Soeharto

Lihat atau coba simak suara-suara miring yang beredar Oktober 2009. Di akhir Oktober tahun tersebut, nama Taufik Kiemas banyak diperbincangkan. Ada yang sehat tapi juga banyak yang tidak positif. Saat itu TK baru saja berhasil terpilih secara aklamasi sebagai Ketua MPR-RI. Sepatutnya, keberhasilan TK menjadi Ketua MPR tahun itu, perlu disambut dengan dukungan dan harapan. Tapi yang terjadi, tidak demikian. Entah karena bangsa kita sudah dihinggapi oleh sifat-sifat yang tidak respektif kepada sesama atau karena ada virus aneh yang mewabah dalam kantong intelektual kita.
Taufik Kiemas
Pihak yang tidak suka terhadap Taufik Kiemas menyudutkan Ketua MPR periode 2009-2014 tersebut dengan merujuk pada kesalahannya dalam membacakan pidato. Kesalahan itu seolah sudah sama dengan membawa bangsa Indonesia ke akhir zaman. Padahal kesalahan dapat terjadi kapan saja dan setiap orang bisa membuat kesalahan manusiawi.
Taufik Kiemas
Namun begitulah. Bagi yang sudah apriori, dengan kesalahan itu bila perlu jabatan baru TK yaitu Ketua MPR RI, dibatalkan. Awalnya cuma bicara tentang ketidakpatutan seorang pejabat negara yang membuat kesalahan. Namun belakangan, yang berkembang adalah tudingan dengan menyebut bahwa TK telah berkonspirasi dengan Presiden SBY. Keberhasilan Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR hanya mungkin tercapai karena campur tangan SBY. Risiko yang disampaikan, jika demikian keadaannya, berarti TK berhutang budi kepada Presiden SBY. Nah dengan adanya utang budi itu, apakah mungkin TK sebagai Ketua MPR dapat menjatuhkan sanksi kepada Presiden SBY? Katakalanlah ada desakan agar SBY dilengserkan, mengingat yang bersangkutan sudah melakukan pelanggaran atas konstitusi. Tapi pertanyaan yang mengemuka secara tiba-tiba adalah apa mungkin TK selaku Ketua MPR mau mendorong terjadinya pelengseran terhadap SBY? Kedengarannya persoalan TK terlalu jauh di bawa ke luar koridor. Hanya saja secara logika wacana kecurigaan itu memang tetap memiliki alasan kuat. Yang tidak kuat logikanya terletak pada diabaikannya hak azasi TK dan SBY. Seolah-olah TK dan SBY tidak punya hak lagi untuk saling membantu. Sehingga keberhasilan TK menjadi Ketua MPR tetap dinilai sebagai sebuah pelanggaran serius dalam sistem ketatanegara kita. Peran dan jasa SBY ini dinilai tidak patut sebab dukungan SBY kepada TK baru diberikan di menit-menit terakhir. Seolah-olah dukungan di menit terakhir hanya mungkin terjadi setelah adanya negosiasi alot yang berakhir dengan terjadinya barter atau transaksional. Ada pula pihak yang mencoba menciptakan kesan bahwa TK merupakan seorang politisi yang tidak bisa dipegang omongan atau janjinya. Manakala tidak memerlukan SBY, TK dapat menempatkan SBY sebagai lawan Bagaimana tidak? Pada 2003, TK pernah menjuluki "jenderal anak kecil". Tapi tak beberapa lama setelah itu, TK pula lah yang melakukan pendekatan kepada SBY. Hingga Agustus 2009, dua bulan sebelum Pemilu Presiden 2009 memastikan kemenangan SBY untuk kedua kalinya, TK kembali menempatkan SBY sebagai lawan politiknya. TK sekaligus berharap pasangan Mega-Prabowo lah yang akan keluar sebagai pemenang, Hingga dua bulan sebelum TK terpilih sebagai Ketua MPR, tidak ada tanda-tanda, TK bakal melakukan rekonsialiasi, kolaborasi ataupun konspirasi dengan SBY. Memang sulit membuktikan ada atau tidak ada transaksional politik tersebut. Yang ada, hanya sekadar mengira-ngira. Yang pasti selepas keterpilihan TK sebagai Ketua MPR, hubungan TK dan SBY semakin akrab. Bahkan pada awal-awal bulan TK menjadi Ketua MPR, kedua pemimpin itu demikian seringnya melakukan pertemuan. TK memberi nama pertemuan mereka sebagai pertemuan antar lembaga Kepresidenan dan lembaga MPR. Setelah berhasil menggelar pertemuan antar kedua lembaga, TK mengembangkan pertemuan yang sama dengan melibatkan pimpinan lembaga DPR, DPD, BPK, Mahkamah Konstusi dan Mahkamah Agung. Boleh jadi konspirasi ini memang benar adanya. Namun dalam dunia politik konspirasi itu, merupakan pilihan yang sah. Dalam dunia politik, politisi memiliki hak untuk menentukan manuver politik apa yang bisa dilakukannya. Berangkat dari latar belakang yang ada, sebetulnya, kalau mau melihat dan menilai apakah TK seorang politisi yang senang melakukan konspirasi dan transaksional, adalah sangat mudah. Sebab di zaman keterbukaan, nyaris tak ada yang bisa disembunyikan. Yang pasti TK merupakan politisi yang lebih banyak menggunakan intuisi dan kepekaan politiknya. Oleh sebab itu untuk menganalisa gerakan dan manuver politik TK, kita tidak harus menggunakan pisau analisa politik. Sesekali perlu juga dengan cara pendekatan kekerabatan. Mengingat TK lebih peka dan menyukai kekerabatan dan persahabatan ketimbang konflik serta permusuhan. Dalam perspektif seorang sahabatnya, terlalu lemah alasan untuk tidak menyukai TK, jika belum pernah mencoba memahami apa dan bagaimana ideologi politiknya sebagai seorang pluralis-nasionalis. TK tidak bisa disamakan dengan politisi kebanyakan. Pengalaman TK berkecimpung di dunia politik selama hampir 50 tahun, sebetulnya dapat menjadi sebuah pembelajaran. TK merupakan "Sekolah Kehidupan" atau School of Life bagi siapa saja. Mengapa? TK merupakan manusia Indonesia yang berhasil lulus dari sejumlah ujian. Tidak banyak politisi Indonesia yang melalui kehidupan politik yang paradoksal. Misalkan saja ketika TK sebagai politisi yang harus hidup dan lolos dari berbagai jebakan dari rezim Orde Baru. Rezim pimpinan Soeharto itu jelas tidak mengakui Soekarno, sebagai penggali dan penemu Pancasila. Soeharto menjadikan 18 Oktober 1945 sebagai hari kelahiran Pancasila. Sebab argumentasi Soeharto yang disusun sejarawan ABRI Nugroho Notosusanto, pada 18 Agustus itulah konstitusi 1945 ditetapkan. Dan penetapan itu bersamaan dengan pembacaan Pancasila sebagai Dasar Negara. Jadi Soeharto menentang versi Soekarno yang menyebut 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Rezim Soeharto pulalah yang melakukan De-Soekarnoisasi atau penghilangan segala hal yang berbau Soekarno. Tetapi ketika TK sudah menjadi Presiden Bayangan dan Soeharto sedang digiring menjadi tersangka, TK pula yang turun tangan menyelamatkan Soeharto. Caranya meminta hakim yang akan mengadili Soeharto menunda penyidangan perkaranya. Pada akhirnya ketika Soeharto sudah berusia 80 tahun, otomatis Soeharto tidak bisa dijadikan seorang pesakitan lagi. Alasan lain yang digunakan TK, apapun perbuatan Soeharto tidak bisa lagi dipidanakan. Sebab semua perbuatannya sudah dipertanggungjawabkan di Sidang Umum MPR sekali dalam lima tahun, dan telah diterima. TK dan Mega termasuk anggota MPR yang ikut menerima pertanggung jawaban tersebut. Langkah yang diusulkan TK ini seperti sebuah pisau yang punya dia sisi yang tajam. Satu sisi menghindari konflik antara pendukung dan penentang Soeharto. Sisi lain mengingatkan bangsa Indonesia untuk tidak saling memendam. Bagi Taufik Kiemas mengadili atau memenjarakan Soeharto hanya akan melahirkan dendam antarsesama orang Indonesia. Dendam itu tak akan berkesudahan.


Category Article

What's on Your Mind...